Selasa, 20 Desember 2011

Murid Kristus sebagai pelopor “ Odong-odong”


Berau, 07 januari – 22 Desember 2011

Pria tua, rentan dan sederhana. Murid Kristus yang memperkenalkan Kristus dalam kesehari-hari yang begitu sederhana. Pekerjaanya hanya sebagai tukang odong-odong keliling. Setiap kali dia beribadah ditemani buku tulis yang terlihat kusam yang selalu dia bawa (kemungkinan sudah bertahun-tahun), sebuah bullpen, kaca mata tua dan sepeda motor tuanya (kalau tidak salah Honda star). Latar belakang pekerjaan dan apa yang dia milikinya tidak membuat dia riskan atau malu untuk duduk di barisan depan untuk mengikuti ibadah (4 kursi depan dan kolom tepat di tengah-tengah gereja yang terdiri dari ±20 baris kebelakang dan 4 kolom kekiri), tidak pernah telat, dan selalu menjadi suka cita di antara sekitarnya tidak pernah berhenti untuk tersenyum dan menyapa. Pak Edy Widjaya namanya.
Pria yang sudah berkeluarga ini mempunyai istri dan 3 orang anak. Di berau dia hanya tinggal dengan istri dan satu anaknya seorang wanita yang baru lulus kuliah thn 2010 dari Surabaya telah bekerja salah satu pekerja swasta di berau. 2 anaknya lagi tinggal di Surabaya. Anak pertama laki laki sudah menikah dan yang satu lagi yang terakhir masih kuliah di Surabaya. Setiap beribadah dia hanya sendiri, istri dan anaknya yang tinggal bersama dia di berau ini memiliki keyakinan yang berbeda. Istri dan anakanya beragama HINDU.
Perjalanku bersama sahabat ku ini di mulai. Ketika aku mencari tempat ibadah untuk minggu pertama ku di berau. Kutemukan ada gereja di sekitar penginapan ku. Sehari sebelum hari minggu kuberanikan untuk datang kegereja tersebut dan berupaya untuk mencari informasi waktu ibadah. Di esokan harinya saya tiba kira-kira pukul 08.45 di mana ibadah di mulai jam 9. Pria pertama yang menyapa ku adalah adalah dia Pak Edy. Bukan hanya hari itu saja tapi setiap minggu dia yang selalu menyapa ku di gerbang pintu gereja.
Perbincangan kami selalu di mulai sebelum mulai ibadah, selebihnya setelah memulai sampai selesai kami fokus pada ibadah. Sering kali Pak Edy kesulitan membuka Alkitabnya, terlebih ketika Firman Tuhan terdapat di Perjanjian Lama. Tidak jarang aku membantu membukakan dan mencari ayat di Alkitab nya. Kala itu aku menyaksikan keseriusannya mencari dan tak kenal lelah walaupun kami semua usai membaca ayat tersebut tetapi dia tidak berhenti untuk mencari ayat tersebut. Hingga aku yang di sampingnya membantu membukanya, dan setelah itu dia membaca sendiri.
Adakala ketika aku beribadah aku menyaksikan tangan kiri Pak Edy mendapat perban. Kala itu aku ingin bertanya, tapi kedatangan ku tepat ibadah di mulai. Ku simpan pertanyaan itu di saat pulang. Ketika menjelang warta jemaat, di bacakan bahawa Pak Edy mengalami kecelakaan yang mengakibatkan tangan kiri dan bagian kakinya terluka. Wah, bisa ku bayangkan bagai mana saat kami bersaat teduh (di gereja yang aku ikuti kami bersaat teduh dengan berdoa sambil berlutut). Aku menyaksikan betapa rindu Pak Edy dalam keadaan yang sudah tua dan di balut cedera masih rindu untuk berlutut dan berdoa.
Kala itu saat pulang aku bersalaman dan mengucapkan “cepat sembuh pak” dan kami seperti biasa bersalamam dengan jemaat, Pendeta dan Gembala dan kami langusng pulang dengan kegiatan kami masing-masing.
Tidak selamanya aku bersama dengan Pak Edy, ada satu saat di mana aku harus duduk di belakang di karenakan aku datang telat kira-kira hampir setengah jam. Betul memang seperti apa yang di sampaikan oleh Pak Edy, aku kesulitan menikmati ibadah karena banyak bagian dari jemaat serta anak-anak yang tidak fokus dalam mengikuti ibadah dan menggangu keheningan berjalannya ibadah. Aku merasakan kerinduan ku beribadah mengenal Kristus bersama dia.
Paskah telah tiba, Puji Tuhan aku mendapat izin untuk tidak bekerja pada hari tersebut untuk beribadah. Seperti biasa aku berupaya untuk tidak telat dan aku pun seperti biasa aku mendapat sambutan hangat dari Pak Edy dan kami menmpatkan diri kami di kursi setia kami. Pertanyaan sederhana “ Betul kan, Tuhan Yesus mati untuk menebus dosa kita?? “. Ku jawab “ya”. Pertanyaan tersebut penuh dengan perasaan yang luar biasa. Kesederhanaan dan bagaimana mengambil makna Penebusan dan Pengorbanan Yesus di Kayu Salib. Entah apa yang terjadi pada ku, setiap Tahun aku mendapat peneguhan akan makna Pengorbanan Yesus di kayu salib, dan aku belum pernah merasakan perasaan yang aku dapat ketika Pak Edy bertanya seperti itu padahal banyak mereka yang sudah lebih pasih dalam pelayanan dan beribadah tapi ini yang berbeda. Merasakan bagaimana Pak Edy sudah benar-benar mengenal lebih dalam dan lebih dekat akan Tuhan Yesus. Aku tersungkur malu ternyata aku masih kurang dalam mengenal Yesus seperti Pak Edy. Demikian aku terus berkomit untuk terus dan terus mengnal Yesus lebih dalam.
Beberapa minggu setelah paskah tersebut, aku mengalami perubahan jadwal kerja ku, aku masuk setiap pagi. Dengan demikian, aku tidak punya kesempatan untuk beribadah di kota lagi dan beribadah bersama Pak Edy dan kursi kesayangan kami. Aku beribadah di Gereja di samping mess kami.
Sudah berbulan-bulan aku tidak beribadah lagi di kota dan tidak bertemu lagi dengan Pak Edy. Akhirnya aku mengalami perbuahan jadwal lagi dan aku mendapatkan kesempatan untuk beribadah lagi pada pagi hari di kota. Ku tidak sia-siakan kesempatan ini setelah aku masuk malam , paginya aku langsung kekota untuk beribadah. Untuk kali ini aku telat sudah tidak ada Pak Edy di depan pintu, dan Puji Tuhan aku beranikan diri ku untuk berjalan ke kursi yang seperti biasa, dan Puji Tuhan, kulihat dia sendirian pada kursi panjang yang biasa kami duduki bersama. Karena telat dia hanya tersenyum dan aku langsung beradaptasi dengan ibadah yang sudah berjalan.
Minggu berikutnya adalah minggu ku gereja terakhir di Berau. Aku ingin berpamitan dengan Pak Edy dan dari dulu aku ingin sekali kerumahnya dan mengenal kesehari-hariannya. Kupersiapkan agar aku lebih cepat sampai di gereja dan sempat berbincang-bincang dengan Pak Edy seperti biasa sebelum ibadah. Mengucap syukur karena saat itu juga bis karyawan datang lebih cepat dan perjalanan cukup lancar hingga aku bisa lebih cepat sampai di kota dan bisa mempersiapkan diri di penginapan temen ku yang di kota.
Segera aku pinjam motor teman ku, dan aku melaju ke gereja dengan perasaan yang lumayan campur aduk, senang, bahagia dan terharu. Karena ini lah minggu terakhir aku beribadah di Berau ini. Ku parkir motor ku di parkiran gereja dan ku parkir motorku di samping motor yang sudah tua, yang kuharapkan itu adalah motor Pak Edy. Ku lihat Pak Edy, sudah masuk terlebih dulu ke dalam gereja dan segera aku mengejarnya untuk bisa bersama-sama lagi beribadah dengan nya. Ku kejar dan akhirnya aku bisa menyapa dia, dia melihat ku, dan kami pun bersalaman mengucapkan salam. Saat itu kami menuju kursi kesayangan kami. Tapi, ada yang berda untuk minggu terakhir ku di gereja ini. Aku bersama Pak Edy maju satu kursi lebih maju kedepan. Aku tidak terlau mengerti apa maksud dari Pak Edy, tapi aku merasakan ada sesuatu yang benar-benar berharga (aku merasa seperti naik kelas). Aku merasa seperti semakin dekat mengenal Tuhan bersama Pak Edy. Saat itu kami berbincang masalah kerjaan ku, dan keseharian ku dan minggu-minggu lalu kenapa aku sudah tidak pernah lagi bergereja di sini. Hingga aku mengutarakan bahawa inilah minggu terakhir ku di Berau ini. Dia terharu, dan dia mengucap syukur telah bersahabat dengan aku, menjadi teman seiman penuh kasih. Dia mengatakan “ kalau sudah sampai di Jakarta jangan lupakan aku ya, kita sudah menjadi teman, selalu bersama di ibadah ini, dan tidak pernah berpisah”. Wah sanjungan yang luar biasa, dari kesederhanaan dan kerendahan hati dari seorang yang Pak Edy. Saat itu juga aku memberanikan diri untuk mencoba menawarkan diri untuk mampir kerumah Pak Edy, dan ia pun mengiyakan nya dan mepersilahkan nanti pulang untuk mampir kerumahnya. Perbincangan kami pun usai ketika ibadah pun di mulai. Ketika selesai beribadah, kami bersalaman dia menawarkan dengan hangat apakah aku jadi untuk mampir kerumahnya. Aku pun dengan senag hati menjawab “iya”. Demikian kami bersama-sama keluar gereja bersalaman dengan jemaat lainnya, Pendeta dan Gembala. Saat parkiran aku, senang karena apa yang aku perkirakan sebelumnya adalah benar, aku memarkir motor ku tepat di samping motor Pak Edy. Pak Edy, menjelaskan sedikit rute perjalanan kerumahnya, setelah itu kami langsung berangkat dengan kecepatan yang cukup santai dengan kecepatan max 30 km/jam. Hal tersebut membuat aku sering kali harus sering menekan rem ku karena aku tanpa terasa aku mau menyalip Pak Edy, kala itu dalam hati ku aku harus sabar rasa muda ku bergejolak. Sesampainya kerumah Pak Edy, aku temukan satu rumah papan yang sangat sederhana di tengah-tengah rumah petak yang berdiri di atas batu yang megah. Ku lihat odong-odong di samping rumah papan. Mata ku tertuju kala ku lihat di depan pintu karena terdapat pernak-pernik Rohani Hindu. Aku menyaksikan betapa dia merindukan bisa bersama-sama dengan keluarganya beribadah, tapi inilah tantangan yang membuat dia begitu tegar dan terus berupaya mengucap sykur selalu. Segelas air putih di sajikan di kala kami baru sampai di rumahnya. Komunikasi sederhana kami sajikan, dari bagaimana kami meningat pertemuan kami di gereja, bagaimana kami selalu beribadah bersama-sama, menceritakan keseharian kami. Pak Edy pun menceritakan pertama kali dia ke berau ini. Ke pindahan ke berau ini karena ajakan sang istri yang ingin di sini. Dia harus berpisah dengan dua anaknya lagi yang seiman dengan dia, dan dia bersedia satu rumah dengan istri dan ankanya yang berbeda agama dengannya, suatu kerendahan hati dan solidaritas yang luar biasa. Ini lah mungkin kesempatan Tuhan Yesus kepada Pak Edy menjadi penerang dalam keluarganya yang belum mengenal Kristus entah kapan , yang pasti Tuhan Bekerja di dalam diri Pak Edy. Saat itulah Pak Edy, mencari pekerjaan sebagai operator odong-odong keliling. Dia pun menceritakan kala itu 6 thn yang lalu hanya dialah yang menjadi operator odong-odong keliling pertama kali di berau ini. Tapi sekarang sudah banyak dan semuanya sudah cangih-cangih, dengan nada yang sedikit menurun tapi tetap mempunyai harapan yang luar biasa. Dia mengatakan dia hanya coba menghabiskan waktunya dan bisa menyenangkan banyak orag di sekelilingnya. Dia pun menceritakan betapa merindunya untuk pulang ke Surabaya untuk bisa bertemu dengan anak-ankanya yang lain. Tapi ke terbatasan waktu dan biaya itulah menjadi kendala Pak Edy untuk pulang. Pada akhir perbincangan aku minta izin untuk ke toilet dan saat itu aku menyaksikan banyak sekali pernak-pernik agama yang berbeda dengan kami, aku tahu kerinduan terbesar Pek Edy akan menjadi terang dan keluarganya akan mengenal Kristus. Bukan karena betapa hebatnya dia, tetapi bagaimana Kasih Kristus terpancar dari perilaku dan karakter sederhana Pak Edy.
Akhrnya aku memutuskan untuk mengakhir perbincangan kami dan aku berpamitan dan memberikan sedkit kenang-kenagan ke pada Pak Edy. Dia sempat menolak, karena ku sampaikan siapa lagi menjadi sahabat seiman dan orang tuaku selain Pak Edy. Demikianlah dia menerima dengan terharu. Ini mungkin perpisahan kami terakhir,semoga kami bisa bertemu di lain waktu dan kesempat yang berbeda. Dia menitip kan pesan agar aku tidak melupakan dia, dan aku harus berpamitan dengan para pengurus gereja di mana kami bisa beribadah bersama. Demikianlah kami berpisah.

“ Aku mengucap sykur di kala aku merindukan teman seiman dan pelayanan yang luar bisa di Jakarta yang tidak aku dapat, tapi akau mendapat banyak pelajaran disini. Tidak perlu dengan betapa hebat menjadi pelayan tapi menjadi saksi Kristus dalam kehidupannya sehari-sehari. Banyak mengajarkan aku untuk lebih dekat dan menguatkan komitmen ku untuk berjuang naik kelas setiap saatnya, makin dekat dan makin dekat dengan Tuhan Yesus. Menjadi apa adanya, dan menerima diri apa adanya dan membawa aku kepada Yesus. Dosa, kekurangan, kelemahan dan segala tantang tidak mampu membuat ku untuk merasakan Anugerah Tuhan yang luar biasa yang aku alami. Demikian aku siap untuk Tuhan tempatkan aku di manapun setelah ini. Karena dimana aku berada di situ aku akan terus belajar dan melayani Tuhan. Tuhan Yesus memberkati ”
Jasa Pasaribu

1 Korintus 15 : 10
“ Tetapi karena kasih karunia Allah aku adalah sebagaimana aku ada sekarang, dan kasih karunia yang dianugerahkan-Nya kepadaku tidak sia-sia. Sebaliknya, aku telah berkerja lebih keras dari pada mereka semua; tetapi bukannya aku, melainkan kasih karunia Allah yang menyertai aku. ”